Minggu, 05 Mei 2013



                                       BAB I PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
       Penyakit pada organisme budidaya didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan suatu fungsi atau struktur dari alat-alat tubuh atau sebagian alat tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada prinsipnya penyakit yang menyerang organisme budidaya tidak datang begitu saja, tetapi melalui proses hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan (kulitas air), kondisi inang (organisme budidiya), dan adanya jasad patogen (jasad patogen). Dengan demikian, timbulnya serangan penyakit itu merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara lingkungan, biota budidaya, dan jasad patogen. Interaksi yang tidak serasi ini menyebabakan stress pada organisme budidaya sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah dan akhirnya mudah diserang penyakit (Kordi, 2007).
       Organisme yang diserang penyakit pada umumnya berasal dari kelompok hama, parasit, dan non parasit. Namun, yang paling banyak menimbulkan kerugian adalah penyakit yang disebabakan oleh parasit. Penyakit yang disebabakan oleh parasit biasanya sulit untuk dideteksi oleh para petani ikan karena terdapat banyak parasit yang dapat menimbulkan penyakit dengan gejala yang sama. Kerugian yang ditimbulkan oleh parasit bergantung pada beberapa faktor, yaitu umur biota yang sakit, persentase populasi yang terserang penyakit, parahnya penyakit, dan adanya infeksi sekunder. Parasit yang dapat menyerang organisme budidaya adalah dari jenis virus, bakteri, jamur, protozoa, golongan cacing dan udang renik. Serangan parasit biasanya terjadi pada kolam yang kualitas airnya buruk atau kolam yang tidak terawat.
       Faktor lain yang membuat serangan parasit susah dicegah adalah minimnya peralatan yang dimiliki untuk mendeteksi parasit tersebut. Hal ini sangat membahayakan para petani ikan karena akan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Untuk itu, sebagai mahasiswa yang akan berkecimpung di dunia budidaya perairan, maka perlu dilatih dasar-dasar untuk mendeteksi parasit yang menyerang ikan agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari setelah menyelesaikan studinya nanati.
1.2   Tujuan Praktikum
         Tujuan dari praktikum ini adalah:
1.      Mengetahui cara mengisolasi dan mengidentifikasi parasit pada Ikan Lele.
2.      Mengetahui jenis parasit dan organ Ikan Lele yang terserang parasit.
3.      Mengetahui tanda klinis Ikan Lele yang terserang parasit

 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Parasit dan Penyakit
       Penyakit ikan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan pada ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Gangguan pada ikan dapat disebabkan oleh organisme lain, pakan maupun kondisi lingkungan yang kurang menunjang kehidupan ikan. Ikan dikatakan sakit apabila terjadi gangguan/kelainan baik secara anatomi maupun fisiologinya.Timbulnya serangan penyakit di kolam merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara ikan kondisi lingkungan dan organisme penyakit.interaksi yang tidak serasi ini telah menyebabkan stress pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri yang dimilikinya menjadi lemah dan akhirnya mudah diserang oleh penyakit. Sumber penyakit ikan yang sering menyerang ikan di dalam kolam terdiri dari beberapa kelompok, yaitu hama, parasit dan non parasit. Penyakit ikan yang disebabkan oleh organisme parasit umumnya menimbulkan kerugian cukup besar (Afrianto,1992).
       Parasitisme adalah bentuk simbiosis dari dua individu yang satu tinggal, berlindung atau maka di atau dari individu lainnya yang disebut inang, selama hidupnya atau sebagian dari masa hidupnya. Bagi parasit, inang adalah habitatnya sedangkan mangsa bagi predator bukan merupakan habitatnya, selain itu pada umumnya parasit memerlukan suatu individu inang bagi pertumbuhannya, apakah dalam jangka waktu sampai dewasa atau hanya sebagian dari stadia hidupnya, sedangkan predator memerlukan beberapa mangsa selama hidupnya (Anonim, 2010).
       Adapun tanda-tanda dari ikan yang telah terkena serangan penyakit atau parasit adalah ikan terlihat pasif, lemah dan kehilangan keseimbangan; nafsu makan mulai berkurang; malas berenang dan cenderung mengapung di permukaan air; adakalanya ikan bergerak secara cepat dan tiba-tiba; selaput lendimya berangsur-angsur berkurang atau habis, sehingga tubuh ikan tidak licin lagi (kesat); pada permukaan tubuh ikan terjadi pendarahan, terutama dibagian dada, perut atau pangkal ekor; di beberapa bagian tubuh ikan, sisiknya tampak rusak bahkan terlepas. Sering pula terlihat kulit ikan mengelupas; sirip dada, punggung maupun ekor sering di jumpai rusak dan pecah-pecah, pada serangan yang lebih hebat kadang-kadang hanya tinggal jari-jari siripnya saja; insang terjadi rusak sehingga ikan sulit untuk bernafas, wama insang menjadi keputih-putihan atau kebiru-biruan; dan bagian isi perutnya terutama hati, berwarna kekuning-kuningan dan ususnya menjadi rapuh (Anonim, 2007).
       Berdasarkan daerah penyebaran, penyakit atau parasit ikan dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu:
1. Penyakit atau parasit pada kulit.
       Penyakit atau parasit ini menyerang bagian kulit ikan sehingga dengan mudah dapat dideteksi. Apabila organisme penyebabnya berukuran cukup besar, maka dengan mudah dapat langsung diidentifikasi. Akan tetapi bila berukuran kecil harus di identifikasi dengan mempergunakan sebuah mikroskop atau dengan mengamati akibat yang timbulkan oleh serangan organisme-organisme tersebut. Biasanya ikan yang terserang akan terlihat menjadi pucat dan timbul lendir secara berlebihan. Organisme yang menyerang bagian kulit dapat berasal dari golongan bakteri, virus, jamur atau lainnya. Bila disebabkan oleh jamur, maka akan terlihat bercak-bercak berwama putih, kelabu atau kehitam-hitaman pada kulit ikan. Ikan yang mengalami serangan penyakit atau parasit pada kulitnya, biasanya akan menggosok-gosokkan badannya kebenda-benda disekelilingnya sehingga sering kali menimbulkan luka baru yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder. 
2.Penyakit atau parasit pada insang.
        Penyakit atau parasit yang menyerang organ insang agak sulit untuk dideteksi secara dini karena menyerang bagian dalam ikan. Salah satu cara yang dianggap cukup efektif untuk mengetahui adanya serangan penyakit atau parasit pada insang adalah mengamati pola tingkah laku ikan.
Ciri utama ikan yang terserang organ insangnya adalah menjadi sulit untuk bernafas. Selain itu, tutup insang akan mengembang sehingga sulit untuk ditutup dengan sempurna. Jika serangannya sudah meluas, lembaran-lembaran insang menjadi semakin pucat. Sering pula dijumpai adanya bintik-bintik merah pada insang yang menandakan telah terjadi pendarahan (peradangan). Jika terlihat bintik putih pada insang, kemungkinan besar di sebabkan oleh serangan parasit kecil yang menempel.

3.   Penyakit atau parasit pada organ dalam.
       Ciri utama ikan yang terkena serangan penyakit atau parasit pada organ (alat-alat) dalamnya adalah terjadi pembengkakan di bagian perut disertai dengan berdirinya sisik. Akan tetapi dapat terjadi pula bahwa ikan yang terserang organ dalamnya memiliki perut yang sangat kurus.
       Jika pada kotoran ikan sudah dijumpai bercak darah, ini berarti pad usus terjadi pendarahan (peradangan). Jika serangannya sudah mencapai gelembung renang biasanya keseimbangan badan ikan menjadi terganggu sehingga gerakan berenangnya jungkir balik tidak terkontrol (Sachlan, 2002).
       Salah satu kendala bagi ikan air tawar adalah adanya penyakit ikan yang dapat disebabkan oleh penyebab infektif (parasit, jamur, bakteri, virus) maupun non infektif (kualitas air, kandungan gizi pakan, genetik dan lain-lain). Penyakit tersebut dapat dikendalikan melalui tindakan preventif (pencegahan) maupun kuratif (pengobatan) dengan harapan didapatkan ikan yang sehat sehingga menunjang keberhasilan budidaya ikan. Secara umum tindakan preventif terhadap penyakit dapat dilakukan dengan cara melakukan pengolahan budidaya ikan secara baik, seperti melakukan persiapan kolam dengan baik dan tepat yaitu pengeringan kolam, pengapuran dan pemupukan; melakukan pencucian akuarium atau bak yang akan dipakai dengan menggunakan desinfektan; padat penebaran optimal; melakukan penanganan ikan secara baik pada saat penebaran maupun panen sehingga tidak menimbulkan luka yang dapat menyebabkan infeksi; pencegah agar tidak terjadi kontak langsung antara ikan sakit dan sehat dengan cara mengisolasi ikan yang terserang penyakit; pencegah penularan yang dapat terjadi melalui peralatan yang dipakai, wadah maupun air media pemeliharaan; menjaga agar kualitas air media tetap pada kondisi optimal; dan menjaga kualitas pakan agar tetap baik dan cukup dalam jumlah pakan yang diberikan (Anonim, 2011)

2.2 Sistematika Ikan Lelel
Klasifikasi Ikan Lele ( Clarias Batrachus )
Kingdom     :Animalia
Sub-kingdom : Metazoa
Phyllum                                                                            : Chordata
Sub-phyllum                : Vertebrata
Kelas                                       : Pisces (ikan yang punya insang untuk bernapas)
Sub-klas                                  : Teleostei ( ikan bertulang keras )
Ordo                                        : Ostariophysi ( ikan yang dirongga perutnya sebelah atas  ada      tulang sebagai alat keseimbangan / sebagai tulang  weber )
Sub-ordo          : Siluroidea ( berkulit licin, tidak bersisik)
Familia         : Clariidae ( kepala gepeng dan mempunyai alat pernapasan      tambahan)
Genus              : Clarias
Species            : Clarias batrachus

2.3  Morfologi Ikan Lele ( Clarias Batrachus )
Tidak seperti ikan lainya, agak sulit untuk mengatakan bentuk badan lele secara tepat. Tengah badanya mempunyai potongan membulat, dengan kepala pipih kebawah (depressed), sedangkan bagian belakang tubuhnya berbentuk pipih kesamping (compressed), jadi pada lele ditemukan tiga bentuk potongan melintang ( pipih kebawah, bulat dan pipih kesamping).
Kepala bagian atas dan bawah tertutup oleh pelat tulang. Pelat ini membentuk ruangan rongga diatas insang. Disinilah terdapat alat pernapasan tambahan yang tergabung dengan busur insang kedua dan keempat. Mulut berada diujung moncng (terminal), dengan dihiasi 4 pasang sungut. Lubang hidung yang depan merupakan tabung pendek berada dibelakang bibir atas, lubang hidung sebelah belakang merupakan celah yang kurang lebih bundar berada di belakang sungut nasal. Mata berbentuk kecil dengan tepi orbitalyang bebas.
Sirip ekor membulat, tidak bergabung dengan sirip punggung maupun sirip anal. Sirip perut berbentuk membulat dan panjangnya mencapai sirip anal. Sirip dada dilengkapi sepasang duri tajam / patil yang memiliki panjang maksimum mencapai 400 mm. Patil ini beracun terutama pada ikan ikan remaja, sedangkan padaikan yang tua sudah agak berkurang racunya.
Ikan ini memiliki kulit berlendir dan tidak bersisik (mempunyai pigmen hitam yang berubah menjadi pucat bila terkena cahaya matahari, dua buah lubang penciuman yang terletak dibelakang bibir atas, sirip punggung dan dubur memanjang sampai ke pangkal ekor namun tidak menyatu dengan sirip ekor, panjang maksimum mencapai 400 mm.

2.4  Anatomi Ikan Lele ( Clarias Batrachus )
Ikan lele memiliki alat pernapasan tambahan yang disebut Aborescen organ yang merupakan menbran yang berlipat-lipat penuh dengan kapiler darah. Alat ini terletak didalam ruangan sebelah atas insang. Dalam sejarah hidupnya lele lele harus mengambil oksigen dari udara langsung, untuk itu ia akan menyembul kepermukaan air. Oleh karena itu jika pada kolam banyak terdapat eceng gondok ikan ini tidak berdaya.
Pada ikan lele, gonad ikan lele jantan dapat dibedakan dari ciri-cirinya yang memiliki gerigi pada salah satu sisi gonadnya, warna lebih gelap, dan memiliki ukuran gonad lebih kecil dari pada betinanya. Sedangkan, gonad betina ikan lele berwarna lebih kuning, terlihat bintik-bintik telur yang terdapat di dalamnya, dan kedua bagian sisinya mulus tidak bergerigi. Sedangkan organ – organ lainya dari ikan lele itu sendiri terdiri dari jantung, empedu, labirin, gonad, hati, lambung dan anus
                               BAB III METODE PRAKTIKUM

3.1  Waktu dan Tempat Praktikum
        Praktikum ini dilaksanakan pada tangga  30 April 2013  pukul 10:00 -12.00 di Laboratorium Biologi, Fakultas Parikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Muslim Indonesia.
3.2    Alat dan Bahan Praktikum
3.2.1 Alat
        Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah mikroskop, kaca preparat dan penutup, bak preparat, pipet tetes, pinset, scalpel, gunting, pisau dan bedah.
3.2.2   Bahan   
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah ikan Lele (
Clarias batrachus) air media, akuades, kertas tisu, dan lap..

3.3   Prosedur Praktikum
3.3.1 Pengamatan makroskopis
Untuk pengamatan makroskopis hanya diamati secara langsung penampilan (morfologi) maupun tingkah laku ikan yang hidup.
3.3.2   Pengamatan mikroskopis
3.3.2.1 Pemeriksaan ektoparasit
3.3.2.1.1  Metode kerokan kulit (skin scraping)
1.    Dikerok bagian kulit dari kepala sampai ekor menggunakan scalpel bersih          sehingga diperoleh cairan mucus (lendir), sel epitel, serta parasit pada kulit
        (kerokan kulit dilakukan dari sisi lateral tubuh, sirip belakang, dan pangkal         sirip).
2.   Diusapkan hasil kerokan di atas objek gelas.
3.   Ditutup specimen dengan gelas penutup.
4.   Diamati preparat dari bawah mikroskop.


3.3.2.1.2   Metode preparat basah (wet mount)
1.    Diletakkan di atas obyek gelas spesimen berupa lendir, sisik, atau potongan        filament insang.
2.    Ditetesi spesimen tersebut dengan akuades di bagian permukaan dengan        menggunakan pipet tetes hingga rata.
3.   Ditutup dengan gelas penutup specimen tersebut.
4.   Diamati di bawah mikroskop.
3.3.2.2    Pemeriksaan endoparasit
3.3.2.2.2   Metode temple (stamp)
1.    Dipotong jaringan usus setebal 1 cm dan diletakkan di atas gelas objek yang        diulang sebanyak 2 kali.
5.   Diamati di bawah mikroskop.
                              BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1   Hasil Pengamatan

Tabel 4.1 Hasil Pengamatan
Gelombang    Kelompok    Ikan Uji    Jumlah Ikan (ekor)    Jenis Parasit    Bagian Organ
Jenis Ikan
Penyakit
Keterangan
Jumlah Ikan
Ikan Lele
Dactylogyrus sp
Bagiantubuh Ikan
2 ekor

4.2  Pembahasan
       Ikan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah ikan yang sakit yang dibeli pada sumber yang sama agar terjadi keseragaman ukuran. Ikan-ikan yang telah dibeli tersebut diangkut menggunakan kantong plastik ke laboratorim untuk diamati dan dibedah.
        Di laboratorium ikan tersebut akan diamati dengan menggunakan pengamatan makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis hanya meliputi pengamatan bagian luar tubuh ikan saja seperti tingkah laku dan bentuk ikan tersebut. Sedangkan pengamatan mikroskopis meliputi pengamatan ektoparasit dan endoparasit. Pengamatan ektoparasit meliputi meliputi metode kerokan kulit (skin scraping) dan metode preparat basah (wet mount). Dan pengamatan endoparasit meliputi metode usap (smear), metode tempel (stamp), dan metode tekan (squash).
        Pada pengamatan ikan secara makroskopis, ikan yang diamati masih menunjukan gerakan yang aktif, ini ditunjukan dengan adanya sedikit perlawanan ketika disentuh. Ikan-ikan tersebut juga masih memiliki mata yang normal seperti mata ikan yang sehat, tidak ada tanda-tanda terserang penyakit. Namun ikan kelihatannya sering berenang di dasar kantong plastik yang merupakan tempat pengangkutannya dari tempat pembelian.
        Beralih ke pengamatan mikroskopis yang dimulai dari pemeriksaan ektoparasit. Pemeriksaan ektoparasit adalah metode pemeriksaan yang dilakukan dengan cara mengamati organ-organ eksternal ikan seperti sirip, kulit, dan insang. Organ-organ tersebut diamati dengan menggunakan dua metode, yaitu metode kerokan kulit dan metode preparat basah. Kedua kerokan tersebut sangat berbeda. Metode kerokan kulit menggunakan hasil kerokan yang diambil dari kepala sampai ekor ikan, hasil kerokan tersebut berupa lendir yang kemudian diusapakn di atas objek gelas lalu diamati. Sedangkan metode preparat basah, selain menggunakan lendir, juga menggunakan sisik, dan potongan filamen insang dan kemudian diletakan di atas gelas benda. Yang berbeda dari kedua metode ini adalah metode kerokan kulit tidak menggunakan akuades untuk diamati, sedangkan metode preparat basah menggunakan akuades. Setelah ditetesi akuades pada gelas benda, kemudian spesimen tersebut ditutup dengan menggunakan gelas penutup, lalu diamati di bawah mikroskop. Penggunaan akuades pada metode preparat basah berfungsi untuk mempertajam gambar yang akan diamati di mikroskop.
                 Pada pengamatan menggunakan metode kerokan kulit di bawah mikroskop tidak ditemukan parasit yang menyerang ikan. Dan pada metode preparat basah ditemukan  parasit Dactylogyrus sp. pada satu ekor ikan lele pada kelompok II dan I.  Bakteri ini semuanya ditemukan pada bagian Lendir Badan ikan. Selain itu, pada metode preparat basah juga ditemukan bakteri Learnea sp. dan Gyrodactylus sp.. Bakteri ini ditemukan di sel epitel kulit ikan karper. Untuk gambar bakterinya diambil dari sumber lain karena pada saat praktikum, bakteri tersebut tidak dapat didokumentasikan.Perbesaran yang digunakan adalah 10X40.
        Pada pemeriksaan endoparasit yang akan kita cari adalah cacing atau protozoa yang hidup di bagian dalam tubuh ikan, seperti organ usus. Pemeriksaan endoparasit meliputi metode usap, dan metode temple.Kedua metode tersebut sebenarnya sama saja, namun perbedaannya adalah cara meletakan preparat pada gelas benda. Pada metode tempel jaringan Insan dan usus ditempelkan di atas gelas objek; sedangkan pada metode tekan, Insan dan usus ditekan pada gelas objek. Kedua metode tersebut pada saat praktikum tidak dilakukan seperti yang tertera pada prosedur praktikum karena kekurangan alat dan bahan yang tersedia. Bahan-bahan yang telah diusap, dipotong, dan ditekan tersebut hanya ditetesi akuades tanpa perlakuan lain lagi, kemudian langsung diamati di mikroskop.
        Pada pemeriksaan endoparasit tidak ditemukan parasit yang mengganggu kehidupan ikan sama sekali. Ini berarti organ dalan ikan nila dan karper yang telah diamati bersih dari parasit. Hal ini terjadi karena ikan yang dibeli merupakan ikan sehat serta susah untuk mencari ikan sakit pada saat sekarang.
         Bakteri Dactylogyrus sp. merupakan hewan yang tergolong dalam golongan cacing-cacingan. Berukuran sangat kecil dan tidak bisa dilihat dengan kasat mata, tetapi hanya bisa dilihat lewah mikroskop. Dalam tubuh ikan, hewan ini digolongkan sebagai parasit. Artinya hewan yang mengambil makanan untuk hidupnya dari hewan yang ditumpanginya sehingga menimbulkan kerugian. Seperti hal cacing-cacing yang lain, Dactilygyrus juga berbadan bulat dan panjang. Pada tubuhnya memiliki 16 buah kait (hook), yaitu dua buah kait berukuran besar dan 4 buah kait berukuran kecil. Mempunyai dua pasang mata, testes dan ovarium bundar. Selain itu memiliki usus yang bercabang dua. Bakteri ini menyerang bagian insang. Disebutkan bahwa insang yang terserang berubah warnany menjadi pucat dan keputih-putihan. Penyerangan dimulai dengan cacing dewasa menempel pada insang atau bagian tubuh lainnya. Setelah matang gonad, telurnya akan jatuh ke perairan. Dalam 2 – 3 hari dengan suhu 24 – 28 O C, telur yang jatuh akan menjadi larva infektif kemudian membentuk dua tonjolan di bagian anterior. Pecahnya tersebut terjadi akibat adanya tekanan dari dalam dorongan perkembangan larva. Kemudian larva akan keluar dan berenang bebas mencari inang untuk tumbuh menjadi dewasa. Bila dalam 10 jam tidak menemukan inang yang cocok, maka larva tersebut akan mati.






Gambar 1.Dactylogyrus sp. pada badan Ikan Lele (Anonim, 2013).
                           Gyrodactylus sp. juga termasuk kedalam golongan cacing-cacingan. Berukuran sangat kecil dan tidak bisa dilihat dengan kasat mata, tetapi hanya bisa dilihat lewah mikroskop. Dalam tubuh ikan, hewan ini juga digolongkan sebagai parasit. Artinya hewan yang mengambil makanan untuk hidupnya dari hewan lain. Keadaan itu menimbulkan kerusakan. Seperti hal cacing-cacing yang lain, Gyrodactylus sp. juga berbadan bulat dan panjang. hewan ini berukuran
0,2 – 0,5 mm. Pada ujung anterior terdapat dua cuping. Setaip cuping memiliki kepala dan memiliki usus bercabang dua dimana ujungnya tidak bersatu. dia menyatakan bahwa posterior atau ventral. Parasit ini tidak memiliki vitelaria atau bersatu dengan ovari. Siklus Gyrodactylus sp. Dari larva hingga menjadi dewasa membutuhkan waktu kira-kira 60 jam. Itu terjadi pada suhu 25 – 27 O C. Bio-Ekologi patogennya meliputi ekto-parasit, bersifat obligat parasitik dan berkembang biak dengan beranak;  tidak memiliki titik mata, dan pada ujung kepalanya terdapat 2 buah tonjolan; penularan terjadi secara horizontal, pada saat anak cacing lahir dari induknya; menginfeksi semua jenis ikan air tawar, terutama ukuran benih dan organ target meliputi seluruh permukaan tubuh ikan, terutama kulit dan sirip. Infeksi berat dapat mematikan 30-100% dalam tempo beberapa minggu; terutama sebagai akibat infeksi sekunder oleh bakteri dan cendawan.
Gejala klinisnya adalah nafsu makan menurun, lemah, tubuh berwarna gelap, pertumbuhan lambat, dan produksi lendir berlebih; peradangan pada kulit disertai warna kemerahan pada lokasi penempelan cacing; menggosok-gosokkan badannya pada benda di sekitarnya. Diagnosanya adalah pengamatan secara visual terhadap tingkah laku dan gejala klinis yang timbul; dan pengamatan secara mikroskopis untuk melihat morfologi parasit melalui pembuatan preparat ulas dari insang. Pengendaliannya adalah mempertahankan kualitas air terutama stabilisasi suhu air > 29° C; mengurangi kadar bahan organik terlarut dan/atau meningkatkan frekwensi pergantian air; ikan yang terserang gyrodactyliasis dengan tingkat prevalensi dan intensitas yang rendah, pengobatan dapat dilakukan dengan perendaman beberapa jenis desinfektan, antara lain larutan garam dapur pada konsentrasi 500-10.000 ppm (tergantung jenis dan umur ikan) selama 24 jam; larutan Kalium Permanganate (PK) pada dosis 4 ppm selama 12 jam; dan larutan formalin pada dosis 25-50 ppm selama 24 jam atau lebih.

                                               BAB V PENUTUP

5.1   Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan tersebut adalah:
1.  Mengidentifikasi parasit pada ikan dapat dilakukan dengan cara pengamatan di      laboratorium karena parasit tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Cara-cara       yang digunakan untuk mengidentifikasi parasit adalah dengan metode kerokan      kulit dan preparat basah untuk pengamatan ektoparasit dan metode usap,      tempel, dan tekan untuk pengamatan endoparasit.
2.  Parasit yang menyerang ikan lele adalah  Dactylogyrus sp. yang menyerang      kulit.
3.  Tanda klinis ikan yang terkena penyakit adalah jika terkena Dactylogyrus sp.      maka insang ikan akan berwarna bintik-bintik putih, kulitnya akan rusak dan     terkadang membusuk.

5.2   Saran   
        Saran yang dapat diberikan untuk praktikum selanjutnya adalah agar sarana dan prasarana laboratorium sesgera diperbaiki.
                                                                                                                                                                                                            BAB VI DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E., 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Anonim, 2011. Pengndalian Beberapa Penyakit Ikan.   
http://budibungo.blogspot.com/2011/04/pengendalian-beberapa-penyakit-ikan-          air.html. [28 Desember 2011].
Anonim  , 2010. Parasit. http://pengertian.blogspot.com/2010/10/parasit.html. [28          Desember 2011].
Anonim, 2007. Penyakit dan Parasit Ikan.          http://ikanmania.wordpress.com/2007/12/30/penyakit-dan-parasit-ikan.html.         [28 Desember 2011].

Jumat, 03 Mei 2013

Arti Sebuah Nama
Lebih dari sekedar sebuah agama, Islam sebagai way of life mengonsepkan bahwa pemberian nama seseorang merupakan bagian yang padu dari proses pendidikan. Sebauh nama berkaitan erat dengan penyandangnya : ketika namanya disebut, secara tidak langsung dia didoakan oleh orang yang memanggilnya. Pun tidak jarang seseorang tersugesti untuk merealisasikan namanya. Nama juga digunakan Rasulullah SAW sebagai reward atas jasa seseorang terhadap Islam.
Dengan kebagusan namanya, setiap umat Nabi Muhammad diharapkan akan hadir di tengah manusia (di dunia dan akhirat) dengan penuh izzah (kebanggan) serta keistimewaan akhlaknya. Rasulullah SAW sendiri mempunya dua buah nama yang mempunyai arti yang sama "Yang Terpuji", yaitu Ahmad (QS. 61 : 6) dan Muhammad. Dipadu dengan keindahan akhlaknya, beliau hadir sebagai figure ideal yang memang pantas untuk dipuji.
Allah SWT secara tegas melarang sesama mukmin untuk memberikan julukan yang buruk (QS. Al-Hujurat : 11). Hal ini diperkuat pula dengan perintah Rasulullah SAW untuk menamai seseorang dengan naman-nama yang baik, karena pada hari kiamat kelak setiap peserta hisab akan dipanggil namanya digandengkan dengan nama bapak masing-masing (HR Abu Dawud dengan sanad hasan).
Dalam proses pendidikan umat Rasulullah SAW juga mencanangkan "gerakan pemberian nama baik" untuk para mukmin. Nama-nama buruk diganti dengan nama yang baik, seperti Harb (perang) diubah menjadi Salim (damai), Al-Mudhhaji (yang berbaring) menjadi Al-Munba'its (yang bangkit/gesit), Hazn (susah) menjadi Sahl (mudah), dan sebagainya.
Sementara untuk nama yang sudah baik dihias dengan julukan yang menggambarkan nilai plus seseorang seperti julukan-julukan Singa Allah (Hamzah bin Abdul Muthalib), Hawari Rasulullah (Zubair bin Awwam), Yang Cemerlang dan Yang Suci (Fathimah binti Muhammad), Al-Faruq (Umar bin Khattab) dikalungkan kepada para tokoh terdepan Islam sebagai reward bagi jasa-jasanya dalam syi'ar dakwah Islam.
Adapun hikmah yang dapat kita petik dari gambaran di atas adalah : Pertama, Rasulullah SAW sebagai murabbi (pendidik) utama sungguh memperhatikan secara cermat segala aspek dalam diri mutarobbi (anak didik). Dalam hal ini aspke psikologis menjadi sorotan utama beliau.
Kedua, mari kita mengakui kesalahan kita selama ini. Kita semua merupakan murobbi, paling tidak untuk putra/putri kita masing-masing. Sudahkah kita memberikan nama yang baik, atau julukan yang baik sebagai reward (hadiah) atas sikap mereka yang manis? Ataukah kita lebih  sering memberikan julukan yang memalukan sebagai punishment (hukuman)?
Sementara itu patut disayangkan bahwa nama-nama bagus semisal Siti Aisyah, Ahmad, Nurlia dan Salamah dikisahkan secara miring dalam beberapa lagu yang berkonotasi erotisme jahiliyah. Hal ini menjadi "sebab nilai setitik rusak susu sebelanga". Untuk membersikan susu, "Gerakan Nama Baik untuk Semua" ada baiknya dibudayakan kembali.

Rabu, 24 April 2013


PROSES, PENYEBAB, DAN DAMPAK DARI EUTROFIKASI
 


OLEH :

                                                     NAMA     : ASHABUL AKHFI

PROGRAM STUDY BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2013
 
 
BAB I
PENDAHULUAN
 
1.1 Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan yang paling penting bagi semua organisme yang ada di dunia dan tidak terkecuali juga manusia. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern dan meningkatnya jumlah penduduk di dunia ditambah lagi pengaruh perubahan iklim (climate change), telah banyak menyebabkan pencemaran di lingkungan perairan.
Air dikatakan tercemar apabila ada pengaruh atau kontaminasi zat organik maupun anorganik ke dalam air. Hubungan ini terkadang tidak seimbang karena setiap kebutuhan organisme berbeda beda, ada yang diuntungkan karena menyuburkan sehingga dapat berkembang dengan cepat sementara organisme lain terdesak. perkembangan organisme perairan secara berlebihan merupakan gangguan dan dapat dikategorikan sebagai pencemaran, yang merugikan organisme akuatik lainnya maupun manusia secara tidak langsung. Pencemaran yang berupa penyuburan organisme tertentu disebut eutrofikasi yang banyak di jumpai khususnya di perairan darat.
Pada awal abab ke-20 manusia mulai menyadari adanya gejala eutrofikasi pada badan perairan akibat pengkayaan unsur hara yang masuk ke perairan. Mengingat bahwa eutrofikasi merupakan ancaman yang serius bagi kualitas air di perairan, maka kita harus memahami prosesnya, penyebab, dan dampak dari eutrofikasi sehingga kita dapat mencari solusi yang tepat untuk mencegah dan mengatasi masalah ini.
1.2 Tujuan
Mahasiswa dapat memahami proses, penyebab, dan dampak dari eutrofikasi sehingga dapat mencari solusi yang tepat untuk mencegah dan mengatasi masalah eutrofikasi.
 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
 
2.1 Definisi Eutrofikasi
Eutrofikasi adalah proses pengayaan nutrien dan bahan organik dalam jasad air. ini merupakan masalah yang dihadapi di seluruh dunia yang terjadi di ekosistem air tawar maupun marin. Eutrofikasi memberi kesan kepada ekologi dan pengurusan sistem akuatik yang mana selalu disebabkan masuknya nutrient berlebih terutama pada buangan pertanian dan buangan limbah rumah tangga. (Tusseau-Vuilleman, M.H. 2001).
2.2 Faktor Penyebab Eutrofikasi
Eutrofikasi dapat dikarenakan beberapa hal di antaranya karena ulah manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan. Hampir 90 % disebabkan oleh aktivitas manusia di bidang pertanian. Para petani biasanya menggunakan pestisida atau insektisida untuk memberantas hama tanaman agar tanaman tidak rusak. Akan tetapi botol – botol bekas pestisida itu dibuang secara sembarangan baik di sekitar lahan pertanian atau daerah irigasi. Hal inilah yang mengakibatkan pestisida dapat berada di tempat lain yang jauh dari area pertanian karena mengikuti aliran air hingga sampai ke sungai – sungai atau danau di sekitarnya.(Finli, 2007)
Emisi nutrien dari pertanian merupakan penyebab utama eutrofikasi di berbagai belahan dunia. Rembesan phospor selain dari areal pertanian juga datang dari peternakan, dan pemukiman atau rumah tangga. Akumulasi phospor dalam tanah terjadi saat sejumlah besar kompos dan pakan ternak digunakan secara besar-besaran untuk mengatur prosduksi ternakbhewan (sharply et al, 1994).
Menurut Morse et. al. (1993) sumber fosfor penyebab eutrofikasi 10 % berasal dari proses alamiah di lingkungan air itu sendiri (background source), 7 % dari industri, 11 % dari detergen, 17 % dari pupuk pertanian, 23 % dari limbah manusia, dan yang terbesar, 32 %, dari limbah peternakan. Paparan statistik di atas menunjukkan bagaimana besarnya jumlah populasi dan beragamnya aktivitas masyarakat modern menjadi penyumbang yang sangat besar bagi lepasnya fosfor ke lingkungan air.
Limbah kotoran ikan dan sisa pakan ikan yang mengandung unsur hara fosfor dan nitrogen akan merangsang pertumbuhan fitoplankton atau alga dan meningkatkan produktivitas perairan. Sebaliknya, dalam keadaan berlebihan akan memicu timbulnya blooming algae yang justru merugikan kehidupan organisme yang ada dalam badan air, termasuk ikan yang dibudidayakan di perairan danau. Penumpukan bahan nutrien ini akan menjadi ancaman kehidupan ikan di badan danau pada saat musim pancaroba. Adanya peningkatan suhu udara, pemanasan sinar matahari, dan tiupan angin kencang akan menyebabkan terjadinya golakan air danau. Hal ini menyebabkan arus naik dari dasar danau yang mengangkat masa air yang mengendap. Masa air yang membawa senyawa beracun dari dasar danau hingga mengakibatkan kandungan oksigen di badan air berkurang. Rendahnya oksigen di air itulah yang menyebabkan kematian ikan secara mendadak. (Anonim, 2010)
Pestisida, obat-obatan dan pakan ternak merupakan sumber elemen P yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pestisida dapat hilang selama penggunaan melalui penyemprotan yang tidak terarah, dan penguapan. Pestisida lepas dari tanah melalui leaching ataupun pengaliran air. Pola reaksi pelepasan pestisida seangat tergantung pada afinitas bahan kimia yang digunakan tergadap tanah dan air, jumlah dan kecepatan hilangnya pestisida dipengaruhi oleh waktu dan kecepatan curah hujan, penggunaan, jenis tanah dan sifat dari pestisidanya. Pestisida dapat mencapai badan air jikatumpahan yang terjadi selama proses pengisian pencampuran pencucian dan penggunaan, melalui aliran air, melalui pelepasan (leaching) kedalam air permukaan yang berbahaya karena dapt mencemari perairan jika tidak diperlakukan dengan hati-hati (anonym, 2004)
2.3 Penanggulangan Eutrofikasi
Penyisihan fosfat dalam fluidized bed reactor (FBR) menggunakan pasir kuarsa dapat menghasilkan kristal struvite (MgNH4PO4). Penyisihan dengan kristalisasi ini dilakukan dengan aerasi kontinyu dan dapat mencapai efisiensi 80% dalam waktu 120 – 150 menit (Battistoni, et al., 1997). Penyisihan fosfat dalam fluidized bed reactor (FBR) menggunakan pasir kuarsa dapat menghasilkan kristal struvite (MgNH4PO4). Penyisihan dengan kristalisasi ini dilakukan dengan aerasi kontinyu dan dapat mencapai efisiensi 80% dalam waktu 120 – 150 menit (Battistoni, et al., 1997).
Menurut Forsberg 1998, yang utama adalah dibutuhkan kebijakan yang kuat untuk mengontrol pertumbuhan penduduk (birth control). Karena sejalan dengan populasi warga bumi yang terus meningkat, berarti akan meningkat pula kontribusi bagi lepasnya fosfat ke lingkungan air dari sumber-sumber yang disebutkan di atas. Pemerintah juga harus mendorong para pengusaha agar produk detergen tidak lagi mengandung fosfat. Begitu pula produk makanan dan minuman diusahakan juga tidak mengandung bahan aditif fosfat. Di samping itu, dituntut pula peran pemerintah di sektor pertanian agar penggunaan pupuk fosfat tidak berlebihan, serta perannya dalam pengelolaan sektor peternakan yang bisa mencegah lebih banyaknya lagi fosfat lepas ke lingkungan air.
2.4 Dampak Eutrofikasi
Kematian massal ikan akibat arus balik, eutrofikasi dan blooming algae setiap tahun terjadi di perairan di Indonesia dengan kerugian yang besar. Di Danau Maninjau pada Januari 2009 saja kerugian telah mencapai Rp 150 miliar dan menyebabkan kredit macet Rp 3,6 miliar. Kerugian ini akibat kematian ikan sekitar 13.413 ton dari 6.286 petak keramba jaring apung (KJA) dan menyebabkan 3.143 tenaga.(anonim, 2010)
Konsekuansi lebih jauh dari aktivitas manusia yang melepaskan fosfat dalam limbahnya adalah: penurunan kualitas air, estetika lingkungan, dan masalah navigasi perairan dan penurunan keanekaragaman organisme air. Senyawa produk yang dihasilkan bakteri anaerob seperti H2S, amin dan komponen fosfor adalah senyawa yang mengeluarkan bau menyengat yang tidak sedap dan anyir. Selain itu telah disinyalir bahwa NH3 dan H2S hasil dekomposisi anaerob pada tingkat konsentrasi tertentu adalah beracun dan dapat membahayakan organisme lain, termasuk manusia. Beberapa penyakit akut dapat disebabkan oleh racun dari kelompok fitoplankton seperti Paralytic Shellfish Poisoning (PSP), Amnesic Shellfish Poisoning (ASP), dan Diarrhetic Shellfish Poisoning (DSP).
 
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Proses Eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan proses alamiah dan dapat terjadi pada berbagai perairan, tetapi bila terjadi kontaminasi bahan-bahan nitrat dan fosfat akibat aktivitas manusia dan berlangsung terus menerus, maka proses eutrofikasi akan lebih meningkat. Kejadian eutrofikasi seperti ini merupakan masalah yang terbanyak ditemukan dalam danau dan waduk, terutama bila danau atau waduk tersebut berdekatan dengan daerah urban atau daerah pertanian.
Dilihat dari bahan pencemarannya eutrofikasi tergolong pencemaran kimiawi. Eutrofikasi adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan kedalam ekosistem perairan. Eutrofikasi terjadi karena adanya kandungan bahan kimia yaitu fosfat (PO3-). Suatu perairan disebut eutrofikasi jika konsentrasi total fosfat ke dalam air berada pada kisaran 35-100µg/L. Eutrofikasi banyak terjadi di perairan darat (danau, sungai, waduk, dll). Sebenarnya proses terjadinya Eutrofikasi membutuhkan waktu yang sangat lama (ribuan tahun), namun akibat perkembangan ilmu teknologi yang menyokong medernisasi dan tidak diiringi dengan kearifan lingkungan maka hanya dalam hitungan puluhan atau beberapa tahun saja sudah dapat terjadi Eutrofikasi.
3.2 Penyebab Eutrofikasi
Beberapa detergen mengandung phospat, oleh karana itu deterjen juga merupakan sumber pnyebab eutrofikasi yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Walaupun banyak undang-undang dan peratauran yang membatasi atau melarang penggunaan detergen yang mengandung phospat, namun sampai saat ini belum berdampak pada eliminasi masalah eutrofikasi.
Selain P (fosfor) senyawa lain yang harus di perhatiakan adalah nitrogen. Distribusi penggunaan pupuk nitrogen terus meningkat dar tahun ke tahun. Komponen nitrogen sangat mudah larut dan mudah berpindah di dalam tanah, sedangkan tanaman kurang mampu menyerap semua pupuk nitrogen. Sebagai akibatnya, rembesan nitrogen yang verasal dari pupuk yang masuk kedalam tanah semakin meluas, rembesan nitrogen yang berasal dari pupuk yang masuk kedalam tanah semakin meluas, tidak terbatas pada area sandy soil. Sejumlah kelebihan nitrogen akan berakhir di air tanah. Konsentrasi nitrogen dalam bentuk nitrat secara bertahap meningkat di beberapa mata air di areal pertanian, yang akan menyebabkan terganggunya kesehatan manusia yang mengkonsumsi air tersebut sebagai air minum.
Dalam tanah, pupuk N akan dengan cepat melepas amonium dan nitrat. Nitrat sangat mudah larut (kelarutannya tinggi) sehingga mudah hilang melalui pelepasan. Hampir 30% N hilang melalui leaching (pencucian). Nitrat masuk kedalam air permuakaan melalui aliran air dibawah permukaan atau drainase dan masuk kedalam air tanah melalui penapisan lapisan tanah sebelah bwah. Pada umumnya konsentrasi N di perairan. Pada umumnya konsentrasi N di perairan meningkat (tinggi) pada saat pemupukan, terutama setelah hujan. Nitrogen dapat pula hilang sebagai amonia dari penggunaan sumber-sumber nutrien organik seperti pupuk, pupuk cair (slury). Adanya amonia di perairan dapat menjadi indikasi terjadinya kontaminasi oleh pemupukan yang berasal dari material organik. N tinggi juga berasal dari peternakan terbuka. Dari laporan penelitian di UK ditunjukkan bahwa area peternakan menghasilkan limbah N lebih dari 600 kg/ha/hari dan yang hilang/lepas ketanah dapat mencapai 200 kg/ha.
3.3 Dampak Eutrofikasi di Perairan
Efek dari eutrofikasi moderat pada perairan yang miskin nutrien tidak bersifat negatif. Peningkatan pertumbuhan alga dan berbagai vegetasi dapat menguntungkan bagi kehidupan fauna akuatik. Salah satu contoh adalah produksi ikan meningkat. Jika eutrofikasi terus berlanjut, pertumbuhan plankton menjadi sangat lebat, sehingga menutupi perairan. Proses ini akan mengakibatkan gelap di bawah permukaan air, dan kondisi ini berbahaya bagi vegetasi bentik. Problem yang serius akibat eutrofikasi ditimbulkan oleh petumbuhan alga sel tunggal secara hebat, proses dekomposisi dari sel yang mati akan mengurangi oksigen terlarut. Tanaman akuatik (termasuk alga) akan mempengaruhi konsentrasi O2 dan pH perairan disekitarnya. Pertumbuhan alga yang pesat, akan menyebabkan fluktuasi pH dan oksigen terlarut menjadi besar pula. Hal ini akan menyebabkan terganggunya proses metabolik dalam organisme, yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Di perairan yang sangat kaya akan nutrien, produksi plankton dapat menjadi sangat berlebihan. Spesies plankton tertentu muncul secara berkala dalam kuantitas yang sangat besar, yang sering dikenal sebagai “algal bloom”. Beberapa alga tertentu dapat menimbulkan bau dan rasa yang tidak sedap di perairan, dan mengakibatkan konsekuensi yang sama jika perairan menerima material organik dari sumber-sumber pencemar, yaitu sejumlah besar oksigen dalam air terkonsumsi ketika sejumlah besar plankton yang mati berpindah ke dasar perairan dan terdegradasi. Defisiensi oksigen dapat mengurangi kehiupan bentik dan ikan. Jika perairan bentik menjadi de-oksigenasi, hidrogen sulfid (H2S) akan meracuni semua bentuk kehidupan di perairan. Akhirnya eutrofikasi berat dapat menimbulkan pengurangan sejumlah spesies tanama dan hewan di perairan.
Secara singkat dampak eutrofiaksi di perairan dapat dirangkum sebagai berikut:
  1. Rusaknya habitat untuk kehidupan berbagai spesies ikan dan invertebrata. Kerusakan habitat akan menyebabkan berkurangnya biodiversitas di habitat akuatik dan spesies lain dalam rantai makanan.
  2. Konsentrasi oksigen terlarut turun sehingga beberapa spesies ikan dan kerang tidak toleran untuk hidup.
  3. Rusaknya kualitas areal yang mempunyai nilai konservasi/ cagar alam margasatwa.
  4. Terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuni ikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi masyarakat dan merusak industri perikanan. Pada masa kini hubungan antara pengkayaan nutrien dengan adanya insiden keracunan kerang di perairan pantai/laut meningkat
  5. Produksi vegetasi meningkat sehingga penggunaan air untuk navigasi maupun rekreasi menjadi terganggu. Hal ini berdampak pada pariwisata dan industri pariwisata.
 
3.4 Penanggulangan dan Pencegahan Eutrofikasi
Dalam banyak hal, cara yang paling efektif untuk menangani eutrofikasi yang disebabkan oleh kelebihan phospat adalah dengan memakai pendekatan yang terintegrasi untuk mengatur dan mengontrol semua masukan nutrien, sehingga konsentrasi nutrien dapat direduksi menjadi cukup rendah sehingga tidak menyebabkan alga bloom. Pendekatan yang sama akan bermanfaat juga untuk mengatasi masalah eutrofikasi yang disebabkan oleh nitrogen. Oleh karena itu kontrol tersebut harus juga mengurangi kehilangan P dan N, dengan demikian dari sudut ekologi juga akan mendatangkan keuntungan. Jika meningkatnya jumlah P yang lepas/hilang berhubungan erat dengan erosi dn hilangnya sedimen secara besar-besaran, maka dengan kontrol erosi diharapkan dapat dicapai peningkatan kualitas melalui pengurangan dampak negatif sedimen di sistem akuatik.
Perlakuan-perlakuan yang cukup signifikan untuk mengontrol eutrofikasi adalah dengan melakukan perombakan phospat pada buangan kotoran, pengontrolan phospat yang tersifusi dari pertanian, perombakan phospat dari deterjen, pengalihan tempat pembuangan kotoran. Cara yang sukses untukk mengontrol P akan membawa keuntungan bagi lingkungan. Salah satu cara yang paling efisien untuk mengurangi dan mengontrol konsentrasi P di perairan adalah dengan membatasi atau mengurangi beban nutrien dari sumber utama dan meningkatkan teknologi perombakan nutrien dari buangan kotoran (sewage). Jika pertanian adalah P yang signifikan, maka pengurangan buangan P dipandang dari sudut kepraktisannya dan biayanya tidak efisien dari tanah pertanian dan sangat sulit untuk menentukan faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang berpengaruh bervariasi dari sistem pertaniannya, tipe tanah dan kondisi wilayahnya. Namun kehilangan P pada hakekatnya dapat dikembalikan ke sistem pertanian, sedangkan yang lainnya dapat dikontrol oleh petani sendiri misalnya dengan menyebar pupuk tiak pada musim hujan.
Untuk mencegah dan mengeliminasi aliran nitrogen sangat sulit. Sejumlah artificial wetland dapat dibuat sepanjang aliran air dan sungai di areal pertanian untuk menangkap kandungan nitrogen dalam air yang akan mengalir ke laut. Selain itu upaya lain yang perlu dilakukan adalah meningkatkan sistem pengolahan limbah domestik. Pada saat ini, pengolahan limbah domestik di pesisir pantai dan kota besar harus melibatkan proses pengurangan nitrogen secara biologi, karena perlakuan secara kimiawi hanya mengurangi sejumlah kecil kandungan nitrogen dalam limbah cair. Pada hakekatnya mengaurangi konsentrasi nutrien pada sumbernya meruapak upaya yang sangat penting karena mengurangi input nutrien ke dalam lautan seperti yang kita harapkan sangat sulit untuk dicapai.
Sebagian besar P terlarut dengan segera dipakai oleh kegiatan biologis. P sedimen tidak segera tersedia tetapi menjadi sumber P untuk jangka waktu yang lama bagi biota aquatik (Ekholm 1994). Untuk mereduksi lepasnya P dari areal pertanian kedalam air, langkah yang harus dilakukan adalah meningkatkan efisiensi penggunaan P dengan cara menyeimbangkan masukan P (P input) dalam pakan dan pupuk deagn luaran P (P output) dalam produksi tanaman dan hewan dan mengatur level P dalam tanah. Untuk mereduksi lepasan P dalam aliran pertanian dapat dilakukan dengan cara mengontrol sumber dan transportasinya. Lepasan P dari tanah pertanian yang terbawa melalui aliran air permukaan dan erosi mungkin lebih mudah untuk direduksi dan pada umumnya telah berhasil dilakukan, namun demikian perhatian masih sangat kurang terhadap pengaturan sumber P di tanah. Seperti kita ketahui bahwa sumber P tanah terutama berasal dari pemupukan (pupuk kimia, organik, kompos, pupuk kandang) maka pengaturan sistem pertanian yang ramah lingkuanga harus segera dikembangkan. Untuk mengatur pengurangan dampak P terhadap lingkungan, setidaknya ada dua faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu sumber Pdan transportasinya. Timbulnya dampak P terhadap lingkungan tentunya karena ada sumber P (tanah dengan konsentrasi P tinggi, penggunaan kompos, pupuk kandang dan pupuk kimia) dan ada transportasi atau perpindahan P ke lokasi yang rawan (rawan terhadap leaching, pengaliran, erosi). Masalah akan muncul jika ada interaksi dari kedua faktor tersebut. Sumber yang tinggi dengan kecilnya kemungkinan untuk perpindahan, mungkin tidak akan berpengaruh bagi lingkungan. Demikian juga sebaliknya jika kemungkinan terjadinya perpindahan tinggi namun sumbernya kecil maka juga tidak akan berpengaruh buruk terhadap lingkungan. Oleh karena itu pengaturan harus difokuskan pada area dimana kedua kondisi tersebut bertemu. Area tersebut dikenal sebagai “critical source area”. Penentuan titik titik rawan tersebut menjadi sangat penting dan harus segera dilakukan di kawasan Bopunjur sehingga eutrofikasi dapat dicegah. Langkah lain yang juga sangat penting untuk mencegah terjadinya kurasakan lingkungan perairan pada umumnya, khususnya eutrofikasi adalah kerusakan lingkungan perairan pada umumnya, khususnya eutrofikasi adalah dengan mengurangi konsentrasi pencemar dalam limbah cair industri, dan limbah domestik sampai ke tingkatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebelum limbah tersebut memasuki perairan umum. Untuk itu maka teknologi pengolahan limbah yang efisien, dan secara ekonomi dan ekologi menguntungkan sangat dibutuhkan.
 
 
BAB IV
KESIMPULAN
Dari tinjauan pustaka dan penjelasan di bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
  • fosfor dan nitrogen merupakan elemen kunci di dalam proses eutrofikasi, di antara nutrient utama yang terkandung dalam suatu perairan.
  • Eutrofikasi dapat menyebabkan Terjadinya “alga bloom” dan terproduksinya senyawa toksik yang akan meracuni ikan dan kerang, sehingga tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan merusak industri perikanan.
  • Perlakuan-perlakuan yang cukup signifikan untuk mengontrol eutrofikasi adalah dengan melakukan perombakan phospat pada buangan kotoran, pengontrolan phospat yang tersifusi dari pertanian, perombakan phospat dari deterjen, pengalihan tempat pembuangan kotoran.
 
DAFTAR PUSTAKA
Ekholm, P.1994. Bioavailability of phosphorus in agriculturally loaded rivers in southern
finland. Hydrobiologia
Battistoni, P., G. Fava, P. Pavan, A. Musacco, dan F. Cecchi (1997), Phosphat Removal in
Anaerobic Liquors by Struvite Crystallization without Addition of Chemicals:
Preliminary Results, Water Research 31, 2925- 2929.
Forsberg (1998), Which Policies Can Stop Large Scale Eutrophication, Water Science and
Technology, Vol 37, Issue 3, , p 193-200
Morse et al 1993 (The Economic and Environment Impact of Phosphorus Removal from
Wastewater in the European Community), APHA, AWWA, WEF, (1995), Standard
Methods for the Examination of Water and Wastewater, 19th edition, Ed : Andrew D.
Eaton, APHA, Washington DC.